Sunday, July 9, 2023 | By: M.A. Arilaha

MEMAHAMI KONSEP CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY DAN CREATING SHARED VALUE DARI PEMBANGUNAN SAMSUNG TECHNOLOGI INSTITUTE

Perubahan paradigma bisnis saat ini terhadap perkembangan lingkungan telah menggeser strategi bisnis perusahan yang bertujuan bukan hanya mengalokasikan sumber daya perusahaan untuk memperoleh keuntungan saat ini, namun menerapkan strategi keberlanjutan jangka panjang yang membantu memastikan stabilitas keuangan dalam jangka panjang, kepatuhan terhadap hukum, persiapan untuk memenuhi persyaratan yang berpotensi terjadi di masa depan, menjaga reputasi perusahaan, membangun ketahanan perusahaan terhadap perubahan ekonomi, sosial dan lingkungan, penggunaan sumber daya yang terbatas secara efektif dan efisien, serta memberikan pelayanan yang lebih baik. Keberlanjutan perusahaan adalah pendekatan yang bertujuan untuk menciptakan nilai pemangku kepentingan jangka panjang melalui penerapan strategi bisnis yang berfokus pada dimensi etika, sosial, lingkungan, budaya, dan ekonomi dalam berbisnis. Keberlanjutan semakin menjadi kebutuhan bagi perusahaan karena perubahan perspektif lingkungan bisnis. Keberlanjutan dapat didefinisikan sebagai penyediaan kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kebutuhan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya yang dilandasi oleh tiga pilar yakni ekonomi, lingkungan dan social (Elkington, 1998). Konsep corporate Social Responsibility (CSR) merupakan salah satu strategi bisnis yang diterapkan pada korporasi agar dapat terus bertahan di pasar industrinya. Meskipun istilah CSR telah digunakan sejak tahun 1970-an, popularitas konsep CSR semakin berkembang sejak Elkington (1998) memperkenalkan konsep The Triple Button Line, yang menjelaskan bahwa keuntungan ekonomi (profit) bukan satu-satunya tujuan yang harus dicapai perusahaan untuk dapat terus beroperasi dan berkembang, kepedulian terhadap lingkungan (planet) dan peningkatan kesejahteraan masyarakat (people) adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari tujuan perusahaan agar dapat terus bertahan di pasar (sustainability). Evolusi konsep CSR ini kemudian melahirkan Creating Shared Value (CSV) yang diperkenalkan oleh Porter & Kramer (2011).



Konsep Corporate Social Responsibility (CSR)

Dewasa ini, sebagian besar organisasi terlihat memberikan perhatian yang luar biasa pada lingkungan bisnisnya agar mampu terus bertahan. Salah satu bentuk perhatian tersebut tercermin dalam kegiatan CSR. Penerapan CSR oleh perusahaan bertujuan untuk dapat memberikan manfaat yang terbaik bagi stakeholder melalui pemenuhan tanggung jawab ekonomi, hukum, etika dan kebijakan di lingkungan sekitar perusahaan. Konsep CSR sejalan dengan pemikiran Elkington, (1998) bahwa untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, perusahaan bukan hanya sekedar mengejar keuntungan secara finansial (profit), namun juga memperhatikan dan wajib terlibat dalam upaya pemenuhan kesejahteraan masyarakat (people) serta aktif berkonstribusi menjaga kelestarian lingkungan (planet).

Meskipun defenisi konsep CSR masih beragam dan belum diterima secara universal oleh berbagai lembaga (Ginting, 2020), inti dari konsep CSR adalah bagaimana perusahaan mampu bertahan dalam persaingan secara berkelanjutan (sustainability) dengan menghadirkan kepercayaan dari stakeholder terhadap operasional perusahaan dan produk yang didasarkan pada kepedulian terhadap kebutuhan masyarakat dan lingkungannya. Penyelarasan harapan stakeholder (pelanggan, karyawan, mitra bisnis, lingkungan dan masyarakat) dan bertanggung jawab dalam tindakan, sikap, dan nilai-nilainya secara umum, perusahaan diharapkan dapat mempertahankan pertumbuhan dan keberlanjutannya.

Menurut Ogrizek (2002) ruang lingkup CSR adalah untuk mensinergikan tidak hanya kegiatan amal, filantropi dan keterlibatan masyarakat tetapi juga praktik bisnis termasuk sistem manajemen lingkungan, kebijakan sumber daya manusia, dan investasi strategis untuk masa depan yang berkelanjutan. Sementara Rao (2005) menegaskan bahwa praktek CSR pada sebuah perusahaan tercermin dari tata kelola yang baik untuk kepentingan semua pemangku kepentingan, yakni memastikan untuk menambah kekayaan perusahaan dengan mengikuti hukum dan kebiasaan masyarakat, mengembangkan kemampuan semua orang di perusahaan dan khususnya yang kurang beruntung, memiliki kepekaan terhadap lingkungan. dan dampak ekologis dari tindakannya, dan mengambil tanggung jawab untuk meningkatkan kehidupan masyarakat. CSR oleh dianggap sebagai strategi pemasaran, yang menambah pengetahuan manajer dan memberikan manfaat yang lebih luas bagi perusahaannya dengan meningkatkan citra dan membangun ekuitas merek perusahaan (Lichtenstein et al., 2004).

 



Konsep Creating Shared Value (CSV)

Konsep CSV menurut Salonen & Camilleri (2020) merupakan pengembangan dari Stakeholder Theory yang dikemukakan oleh Freeman pada tahun 1984 dan teori Social Entrepreneurship dari Bowen di tahun 1953. CSV juga merupakan hasil dari pengembangan konsep CSR yang digagas oleh Porter & Kramer (2006) yang mengaitkan antara Competitive Advantage dan Corporate Social Responsibility, yang kemudian menyimpulkan bahwa perusahaan tidak mampu memikul tanggung jawab atas semua masalah yang terjadi di dunia karena tidak memiliki semua sumber daya untuk menyelesaikan masalah tersebut. Lebih lanjut dikatakan bahwa perusahaan hanya dapat mengidentifikasi serangkaian masalah sosial tertentu dan berupaya untuk membantu menyelesaikannya dan dari mana ia dapat memperoleh manfaat kompetitif terbesar. Mengatasi masalah sosial dengan menciptakan nilai bersama akan mengarah pada solusi mandiri yang tidak bergantung pada subsidi swasta dan/atau pemerintah. Dalam pengembangannya, penciptaan nilai bersama harus berfokus pada identifikasi dan perluasan hubungan antara kemajuan sosial dan ekonomi (Porter & Kramer, 2011). Dengan demikian maka tujuan korporasi menurut Porter & Kramer (2011) harus didefinisikan ulang sebagai menciptakan nilai bersama, bukan hanya keuntungan semata yang akan mendorong gelombang inovasi dan pertumbuhan produktivitas berikutnya dalam ekonomi global yang disebut sebagai Creating Shared Value. Hal ini juga akan membentuk kembali kapitalisme dan hubungannya dengan masyarakat, dan melegitimasi bisnis lagi sebagai kekuatan yang kuat untuk perubahan positif. CSV selanjutnya didefinisikan sebagai kebijakan dan praktik operasi yang meningkatkan daya saing perusahaan sekaligus memajukan kondisi ekonomi dan sosial di masyarakat tempat perusahaan beroperasi.

Ada banyak cara di mana mengatasi masalah sosial dapat menghasilkan manfaat produktivitas bagi perusahaan. CSV  dimulai dengan analisis bisnis yang mendalam – dan komitmen terhadap perubahan pendekatan strategis. Setiap bisnis berbeda, dan karena itu memiliki peluang untuk terlibat dengan Nilai Bersama dengan cara yang berbeda. Porter & Kramer (2011) menyatakan bahwa perusahaan dapat menerapkan konsep Shared Value pada tiga tingkatan, yakni: 1). Memahami kembali produk dan pasar; 2). Mendefinisikan ulang produktivitas dalam rantai nilai; dan 3). Memungkinkan pengembangan klaster lokal.

Memahami kembali produk dan pasar pada level pertama, CSV membutuhkan pemikiran yang out-of-the-box. Berkaitan dengan Shared Value pada level ini tidak hanya tentang menciptakan produk dan layanan baru yang dapat dipasarkan yang memenuhi kebutuhan masyarakat, tetapi juga tentang membuka pasar yang belum dimanfaatkan dengan mempertimbangkan kembali dan jika perlu, mendesain ulang produk yang ada untuk memenuhi kebutuhan yang belum terpenuhi.

Pada level kedua, yakni mendefinisikan kembali produktivitas dalam rantai nilai, bisnis harus melihat ke dalam dan mengidentifikasi area untuk perbaikan dalam operasi internal dan hubungan pemasok mereka. Rantai nilai mencakup segala hal mulai dari sumber daya manusia hingga pemasaran hingga pengadaan dan logistik. Dengan menilai kembali cara perusahaan menjalankan bisnis, operasi dapat dirampingkan, pemasok dapat diberdayakan dan biaya dapat dihemat.

Kemudian pada level ketiga, yakni memungkinkan pengembangan klaster local, memerlukan penciptaan lingkungan yang kondusif untuk operasi bisnis yang optimal dengan memenuhi kebutuhan masyarakat di sekitar bisnis. Ini juga termasuk mengembangkan dan memberdayakan elemen rantai pasokan untuk mendorong stabilitas sekaligus memberi manfaat bagi masyarakat setempat.

Dengan demikian maka CSV adalah kerangka kerja untuk menciptakan nilai ekonomi sekaligus menangani kebutuhan dan tantangan masyarakat. Ketika bisnis bertindak sebagai bisnis, bukan sebagai donor amal, maka perusahaan dapat meningkatkan profitabilitas sambil juga meningkatkan kinerja lingkungan, ukuran utama kesejahteraan masyarakat. Hanya bisnis yang dapat menciptakan kemakmuran ekonomi dengan memenuhi kebutuhan dan menghasilkan keuntungan, menciptakan solusi mandiri dan skalabel tanpa batas.

 

Best Practice: Samsung Technology Institute

Pemahaman mendalam terkait CSR dan CSV dapat ditelaah pada praktek cerdas yang dilakukan oleh perusahaan elektronik Samsung Group melalui Samsung Technologi Institute (STI) yang bertujuan untuk meningkatkan ketrampilan dan kompetensi siswa vokasi dan kurikulum perbaikan elektronik yang dimulai sejak tahun 2013 dan pada tahun 2017 diperluas dengan berbagai program diantaranya Link & Match Program, penyelarasan kurikulum Handheld Product, Home Appliances, Audio Video bagi pihak sekolah dan industry, memberikan fasilitas magang dan kesempatan kerja, ToT Guru serta bermitra dengan pemerintah, sehingga tahun 2019 terpilih sebagai pemenang lomba Corporate Soscial Initiative pada kategori Shared Value yang dilaksanakan oleh Majalah SWA. Bahkan pada tahun 2020 Samsung meraih penghargaan platinum untuk kategori Excellence in Provision for Literacy & Education, dan penghargaan Gold untuk kategori Best Community Programme di ajang Global CSR Summit & AwardsTM, yang merupakan program penghargaan CSR paling bergengsi di Asia (Perjalanan Menuju Dampak Yang Berkelanjutan: Membuat Perubahan Untuk Hidup Yang Lebih Baik, n.d.).

Sejumlah program yang dilakukan oleh Samsung secara konsep merupakan bentuk CSR yang sejalan dengan pemikiran Elkington (1998), Hal ini terlihat dari upaya pemenuhan kesejahteraan masyarakat (people) sebagai bentuk konstribusi perusahaan mengatasi tantangan Sustainable Development Goals (SDGs) yang difokuskan pada pengembangan edukasi dan komunitas di Indonesia. Selain people, pada perspective planet, Samsung melalui produk yang dikembangkan turut serta menjaga kelestarian lingkungan dengan memanfaatkan teknologi sehingga pekerjaan lebih efektif dan efisien. Program pelatihan perbaikan alat-alat elektronika untuk para siswa adalah salah satu bentuk kepedulian perusahaan terhadap lingkungan ketika banyak alat elektronik rusak dan tidak terpakai akan menjadi sampah yang mempengaruhi kualitas lingkungan. Pelatihan IT serta ToT bagi para guru juga akan terkait dengan pelestarian lingkungan, hal ini digambarkan dengan peran teknologi dalam proses pembelajaran yang dapat dijangkau dan dimanfaatkan dengan menggunakan audio maupun video. Profit, akan diperoleh perusahaan ketika produk elektronik yang digunakan pada sejumlah program tersebut dirasakan manfaatnya dan akan menjadi kebutuhan yang akan dicari oleh pelanggan di pasar industri.

Sementara keterkaitan dalam konsep CSV terlihat dari bagaimana perusahan mampu berbagi dengan stakeholder dalam penciptaan nilai. Salah satu contoh nyata dari program Samsung Technology Institute adalah memenuhi kebutuhan dunia indutri akan tenaga kerja yang memiliki keahlian dan ketrampilan yang berkualitas.

Pada level pertama dalam CSV, Samsung berhasil menciptakan produk dan layanan baru yang dapat dipasarkan yang memenuhi kebutuhan masyarakat khususnya kebutuhan dunia indutri akan tenaga kerja. Perusahaan dan peserta program secara bersamaan menciptakan nilai sumberdaya manusia yang memiliki keahlian dan ketrampilan yang dibutuhkan oleh pasar kerja. Di sisi lain, Samsung berupaya mendesain ulang produk yang telah ada selama ini untuk memenuhi kebutuhan yang belum terpenuhi berkaitan dengan penggunaan alat-alat elektronik yang dapat diproduksi oleh Samsung.

Sharing pengetahuan yang dilakukan oleh Samsung pada level CSV yang kedua, dapat menjadi bahan evaluasi internal dan mengidentifikasi area untuk perbaikan dalam operasi internal dan hubungan pemasok perusahaan dalam rantai nilai operasional perusahaan, misalnya produk seperti apa yang paling dibutuhkan baik dari aspek kuantitas maupun kualitas, proses pemasarannya hingga sampai ke tangan konsumen, sehingga operasionalnya bisa efektif dan efisien.

Pada level ketiga, pengembangan klaster local menjadi keunggulan Samsung karena mampu menciptakan kualitas SDM yang terampil yang siap pakai di dunia Industri dan juga memungkinkan perusahaan merekrut SDM ini sebagai tenaga kerja karena ketrampilan dan keahlian yang dimiliki dan pada akhirnya membantu masyarakat meningkatkan kesejahteraannya secara mandiri berdasarkan kemampuan dan keahlian tersebut.

 

Simpulan

Created Shared Value adalah konsep yang diperkenalkan oleh Porter & Kramer (2011) sebagai kebijakan dan praktik operasi yang meningkatkan daya saing perusahaan sekaligus memajukan kondisi ekonomi dan sosial di masyarakat tempat perusahaan beroperasi. Untuk menciptakan nilai bersama, perusahaan harus memahami kembali produk dan pasar, dengan mendefinisikan ulang produktivitas dalam rantai nilai, dan dengan memungkinkan pengembangan klaster lokal. Nilai bersama bukanlah tanggung jawab sosial perusahaan atau filantropi namun menciptakan nilai bersama adalah inti dari strategi bisnis perusahaan yang berkelanjutan. Perusahaan di semua bidang sekarang harus menyadari bahwa kekuatan yang dimiliki dapat menciptakan perubahan positif dalam skala besar, tanpa mengorbankan kualitas atau pendapatan. Dalam lingkungan konsumen yang semakin kritis, bisnis perlu mengevaluasi kembali dan menyesuaikan strategi dan operasinya agar menjadi berkelanjutan dan benar-benar tahan di masa depan.

 

Daftar Pustaka

Elkington, J. (1998). Partnerships from cannibals with forks: The triple bottom line of 21st-century business. Environmental Quality Management, 8(1), 37–51. https://doi.org/10.1002/tqem.3310080106

Ginting, G. (2020). Kewirausahaan Strategis (1st ed.). Universitas Terbuka.

Lichtenstein, D. R., Drumwright, M. E., & Braig, B. M. (2004). The effect of corporate social responsibility on customer donations to corporate-supported nonprofit. Journal of Marketing, 68(4), 16–32. https://doi.org/10.1509/jmkg.68.4.16.42726

Ogrizek, M. (2002). The effect of corporate social responsibility on the branding of financial services. Journal of Financial Services Marketing, 6(3), 215–228. https://doi.org/10.1057/palgrave.fsm.4770053

Perjalanan Menuju Dampak Yang Berkelanjutan: Membuat Perubahan Untuk Hidup yang Lebih Baik. (n.d.). https://csr.samsung.com/id-id/localMain.do

Porter, M. E., & Kramer, M. R. (2006). The link between competitive adavantage and corporate social responsiblity. Harvard, 84(December), 78–92. http://efbayarea.org/documents/events/ccc2008/Mark-Kramer-Keynote/Strategy-Society.PDF

Porter, M. E., & Kramer, M. R. (2011). Creating shared value. Harvard Business Review, 89(1–2), 1–17. https://doi.org/https://www.communitylivingbc.ca/wp-content/uploads/2018/05/Creating-Shared-Value.pdf

Rao, S. L. (2005). CSR Goes with Good Governance. The Economic Times, New Delhi, 11 March, 1-4.

Salonen, A. O., & Camilleri, M. A. (2020). Encyclopedia of Sustainable Management. Encyclopedia of Sustainable Management, September. https://doi.org/10.1007/978-3-030-02006-4

DAMPAK PERKEMBANGAN TEKNOLOGI DALAM AKTIVITAS BISNIS

 

Perubahan lingkungan yang dinamis memberikan tantangan baru bagi organisasi untuk dapat beradaptasi dengan perubahan tersebut. Adaptasi perkembangan teknologi saat ini merupakan tantangan yang harus dihadapi organisasi di era Revolusi Industri 4.0. Pengembangan pengetahuan terkait teknologi dan informasi menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh pengusaha dan pemilik organisasi saat ini (Sousa & Rocha, 2019). Digitalisasi dan inovasi teknologi menjadi komponen penting dari organisasi saat ini, dan secara langsung mempengaruhi proses manajemen dalam organisasi. Inovasi teknologi yang baru dibuat memungkinkan organisasi untuk mencapai fleksibilitas yang jauh lebih besar dalam pengambilan keputusan daripada organisasi yang belum didigitalkan (Kaivo-Oja et al., 2015). Teknologi adalah faktor dinamis yang bervariasi dari waktu ke waktu Moore (2012) menyatakan bahwa perubahan ini harus diadopsi untuk kelangsungan bisnis dan kinerja yang lebih baik. Teknologi yang maju dan baru berdampak langsung pada kemampuan perusahaan untuk bersaing dalam industri terkait. Artikel ini bertujuan untuk mengetahui dampak perkembangan teknologi dalam aktivitas bisnis dengan memotret kecenderungan arah bisnis dikaitkan dengan perubahan teknologi informasi yang cepat dan radikal serta mengidentifikasi perusahaan start-up dalam 5 tahun terakhir yang berpotensi menjadi unicorn baru di masa yang akan datang.

 

Perkembangan Teknologi dan Arah Bisnis Masa Depan

Perubahan lingkungan organisasi berdampak pada paradigma bisnis saat ini. Dey et al., (2009) menyatakan bahwa agar tetap kompetitif, organisasi harus terus menilai lingkungan bisnis yang berubah dan menganalisis kemampuan organisasi yang mengarah pada pengembangan strategi kompetitif yang tepat. Hal ini disebabkan karena bisnis saat ini didorong oleh upaya pemenuhan kebutuhan pelanggan dan di sisi lain tekanan teknologi yang mengharuskan organisasi dapat mengadopsi teknologi baru untuk mempertahankan operasi agar efisien dalam rantai nilai yang melibatkan identifikasi kebutuhan pelanggan, merancang dan mengembangkan produk baru, merencanakan produksi, pengadaan, manufaktur, pergudangan, dan distribusi barang jadi kepada pelanggan.

Laju percepatan perubahan teknologi dalam lingkungan bisnis dewasa ini semakin tidak terbendung. Banyak penelitian telah dilakukan tentang hubungan antara masalah terkait teknologi dan kinerja bisnis dan sebagian besar hasilnya menunjukkan bahwa teknologi berperan dalam pengurangan biaya dan peningkatan efisiensi proses bisnis. Dengan menggunakan teknologi modern, perusahaan dapat menyesuaikan produksi dengan permintaan secara real time, mengidentifikasi saluran penjualan dan penempatan baru, mengoptimalkan struktur organisasi, menentukan struktur produksi, meningkatkan kualitas layanan dan dengan demikian meningkatkan efisiensi kegiatan organisasi (Rabei & Boienko, 2020).

Bisnis di era revolusi industri 4.0 ditandai dengan inovasi teknologi digital. Kemajuan modern dalam perkembangan informasi global dan teknologi Internet telah membentuk lingkungan elektronik global untuk aktivitas ekonomi di Internet. Gojek merupakan salah satu perusahaan swasta yang dapat memanfaatkan peluang bisnis di era digital pada saat momentum maraknya pengguna smartphone dan kebutuhan penggunaan transportasi yang sangat tinggi di masyarakat. Meskipun tidak memiliki armada (sepeda motor dan mobil) namun mampu menawarkan kemudahan mobilitas bagi konsumen yang tidak memiliki kendaraan pribadi. Contoh lain yakni Tokopedia, Bukalapak, Lazada, dan Shopie yang mampu menjadi marketplace terkemuka di Indonesia yang menjadi penghubung antara penjual dan pembeli melalui sistem transaksi jual-beli online yang dibangun berbasis internet dan kepercayaan, meskipun perusahaan tersebut tidak memiliki toko konvensional secara fisik  dan berada di lokasi strategis namun bisa menjual produk. Dalam konteks pemasaran, domain internet marketing (Kotler & Amstrong, 2013) yang mencakup business to consumer (B2C), business to business (B2B), consumer to consumer (C2C), dan consumer to business (C2B), mampu diimplementasikan dengan baik dalam aktifitas bisnis perusahaannya.

Teknologi digital memungkinkan pengelolaan basis pengetahuan yang dibuat, ekstraksi pengetahuan dari database, penyebaran pengetahuan serta analisis pengetahuan yang diperoleh (Krešimir Buntak, Matija Kovačić, 2019). Terkait dengan apa yang telah dirintis dalam success strory pada contoh di atas, maka keberhasilan penerapan strategi bisnisnya dalam menghadapi perubahan lingkungan khususnya perkembangan teknologi terlihat dari: 1. Pengembangan pengetahuan terkait teknologi dan informasi yang dimiliki oleh pemilik dan pengelola perusahaan (Sousa & Rocha, 2019); 2. Penerapan efektivitas operasional perusahaan melalui teknologi dengan memanfaatkan sumberdaya secara lebih baik, menetapkan positioning (aktivitas memproduksi, kebutuhan pelanggan, dan segmentasi pelanggan), Trade-offs dan Penyesuaian strategi,  (Porter, 1996); dan 3. Membangun pandangan masa depan melalui Konsep EDS atau Electronic Data System (Hamel & Prahalad, 1994).

Seiring dengan perkembangan informasi dan teknologi digital, bisnis di masa depan tidak lagi berbasis asset. Bisnis layanan enterprise seperti cloud analytic, big data, fintech, software as a service, online marketing, on-demand service, e-commerce, transportasi, edukasi, dan lain sebagainya, akan berkembang dengan cepat. Dengan demikian maka kecenderungan arah bisnis jika dikaitkan dengan perkembangan teknologi dan informasi dipengaruhi oleh peningkatan volume data, kekuatan komputerisasi dan konektifitas, yang kemudian perlu direspon dengan kemampuan analisis dan business intelligence dalam adaptasi interaksi hubungan manusia dengan mesin, restrukturisasi kebijakan dan instruksi transfer digital dalam operasional aktifitas fisik seperti penggunaan robotika dan 3D printing, serta memanfaatkan dukungan keterbukaan informasi dan aksesibilitas melalui internet.

Evolusi teknologi selalu memberikan tantangan sekaligus peluang bagi organisasi bisnis. Transformasi digital dapat menjadi salah satu landasan bagi organisasi untuk menciptakan keunggulan kompetitif di pasar. Melalui penggunaan inovasi teknologi informasi-komunikasi, berbagi dan menciptakan pengetahuan organisasi menjadi lebih efektif dan efisien. Perubahan lingkungan mengakibatkan kebutuhan akan kompetensi yang berbeda yang dibutuhkan oleh karyawan yang bekerja di organisasi dan yang terkait dengan kreativitas dalam proses penyelesaian masalah (Schwarzmüller et al., 2018). Organisasi memiliki kemungkinan untuk menciptakan basis pengetahuan yang di dalamnya dapat mengakumulasi dan menyimpan pengetahuan yang telah dibuat, juga dapat menganalisis pengetahuan tersebut untuk tujuan yang berbeda. Namun, kepada organisasi direkomendasikan untuk membuat sistem manajemen pengetahuan yang tidak hanya didasarkan pada pengumpulan dan dokumentasi pengetahuan, tetapi juga pada penciptaan hubungan antara pengetahuan dan penggunaannya untuk tujuan menciptakan nilai. Selain itu, kebutuhan untuk mengelola pengetahuan organisasi tidak hanya merupakan konsekuensi dari perubahan lingkungan organisasi, tetapi juga hasil dari kebutuhan akan adaptasi yang jauh lebih baik terhadap perubahan di masa depan.    

 

Potensi Start-up Company Menjadi Unicorn Baru di Masa Depan

Perkembangan teknologi baru dan pesatnya perkembangan Internet telah membawa tren bisnis global yang telah berhasil menjual produk dan layanan mereka ke seluruh dunia dalam waktu singkat. Bisnis ini disebut startup. Istilah startup mengacu pada perusahaan pada tahap pertama operasi. Startup didirikan oleh satu atau lebih pengusaha yang ingin mengembangkan produk atau layanan yang mereka yakini ada permintaannya. Perusahaan-perusahaan ini umumnya memulai dengan biaya tinggi dan pendapatan terbatas, itulah sebabnya mereka mencari modal dari berbagai sumber seperti pemodal ventura. Startup adalah perusahaan rintisan yang belum lama beroperasi. Dengan kata lain, startup artinya perusahaan yang baru masuk atau masih berada pada fase pengembangan atau penelitian untuk terus menemukan pasar meupun mengembangkan produknya.

Berdasarkan hasil perankingan start-up yang berkembang di Indonesia yang dipublikasikan secara online (www.startupranking.com) terlihat bahwa beragam perusahaan start-up berada pada pasar industry yang berbeda. Pada publikasi tersebut teridentifikasi start-up yang sementara berkembang dan diurutkan berdasarkan peringkat berdasarkan jumlah skor yang dijadikan sebagai indicator penilaian, diantaranya (dalam artikel ini hanya menampilkan peringkat 1 sampai 6) adalah sebagai berikut:

1.   Traveloka, atau lebih dikenal dengan traveloka.com., yang bergerak di bidang pelayanan pemesanan tiket pesawat dan reservasi hotel menempati posisi teratas untuk perangkingan dalam negeri (Indonesia). Traveloka.com merupakan situs pemesanan tiket pesawat Indonesia dengan misi membuat perjalanan menjadi lebih sederhana dan menarik. Pemesanan penerbangan online yang berbasis di Jakarta didirikan oleh para insinyur Indonesia dengan pengalaman bertahun-tahun bekerja untuk perusahaan teknologi terkemuka di Silicon Valley, AS. Traveloka.com sebelumnya telah meningkatkan investasi seri A dari Global Founders Capital dan investasi tahap awal dari East Ventures. (Pada akhir tahun 2020 berhasil menjadi Unicorn)

2.   Ruang Guru, merupakan perusahaan penyedia layanan dan konten Pendidikan berbasis teknologi terkemuka di Indonesia yang menghubungkan calon murid dengan calon guru untuk belajar di berbagai bidang ilmu.  

3.    Uzone Indonesia, adalah portal hiburan untuk yang menyediakan layanan produk hiburan seperti film, tv, radio, aplikasi, buku, berita, musik, dan pembaruan berita.

4.  Alodokter.com, yang merupakan portal yang menawarkan pelayanan dan informasi di bidang kesehatan di Indonesia yang memberikan pengetahuan medis kepada masyarakat Indonesia dengan menyediakan konten yang mudah diakses dalam Bahasa Indonesia dan dengan mengembangkan komunitas kesehatan online.

5.  Gilabola.com adalah komunitas sepak bola paling populer di Indonesia. Dibangun oleh beberapa pionir raksasa portal berita internet Indonesia yang memberikan layanan berita bola terbaru dan terpopuler.

6.  Mailbird, yang menawarkan kemudahan untuk mengelola semua akun email, jejaring sosial, penjadwalan, dan lainnya di satu platform menarik dan dapat disesuaikan.

Jika dilihat dari perkembangannya maka dapat dikatakan bahwa perusahaan-perusahaan tersebut memiliki potensi menjadi unicorn baru di Indonesia menyusul beberapa perusahaan yang telah menjadi unicorn sebelumnya seperti Gojek dan Tokopedia (keduanya kemudian melakukan merger pada bulan Mei 2021), Bukalapak (menjadi Unicorn sejak Tahun 2017), OVO (sejak 2019), dan J&T Express (sejak awal Tahun 2021). Unikorn (bahasa Inggris: Unicorn) adalah istilah untuk perusahaan rintisan dengan nilai kapitalisasi lebih dari $1 miliar. Unikorn merujuk pada hewan mitologi Yunani berbentuk kuda putih bertanduk. Ini karena perusahaan rintisan yang sukses seperti itu tergolong langka, hampir mustahil, dan sulit dicapai. Dalam start-up bisnis juga dikelompokkan ke dalam 6 tingkatan perusahaan, yang dimulai dari tingkatan palin bawah yang disebut dengan cockroach, pony, centaurs, unicorn, decacorn, dan tingkatan yang paling mapan yang disebt dengan hectocorn.

 

Simpulan

Perkembangan teknologi dan informasi memberikan tekanan yang sangat besar terhadap organisasi bisnis. Adaptasi perubahan lingkungan harus dilakukan oleh organisasi sesegera mungkin agar dapat bertahan dan memenangi persaingan dalam industrinya. Kunci sukses organisasi dalam perkembangan teknologi adalah kemampuan dan kualitas organisasi untuk mengkonvergensikan sector industry computing, communications dan content pelayanan produk, serta melakukan inovasi secara terus menerus. Hal ini juga perlu didukung oleh pengembangan pengetahuan para pemilik organisasi dan pengelola terkait teknologi dan informasi dalam penerapan efektivitas operasional perusahaan guna mencapai tujuan masa depan, karena arah pengembangan bisnis ke depan bermuara pada bisnis layanan enterprise seperti cloud analytic, big data, fintech, software as a service, online marketing, on-demand service, e-commerce, transportasi, dan edukasi, yang core bisnisnya beradaptasi dengan perkembangan teknologi dan informasi.  

 

Referensi:

Dey, P. K., Ho, W., Albores, P., & Bennett, D. (2009). Technology and business integration. July. https://doi.org/10.1080/09537320902969091

Hamel, G., & Prahalad, C. K. (1994). Competing For The Future. Harvard Business Review, 122128(Juy-August).

Kaivo-Oja, J., Virtanen, P., Jalonen, H., & Stenvall, J. (2015). The effects of the internet of things and big data to organizations and their knowledge management practices. Lecture Notes in Business Information Processing, 224(January 2016), 495–513. https://doi.org/10.1007/978-3-319-21009-4_38

Kotler, P., & Amstrong, G. (2013). Principles of Marketing (15th ed.). Prentice Hall.

Krešimir Buntak, Matija Kovačić, I. M. (2019). Knowledge Management in Digital Era. Advances in Business-Related Scientific Research Conference, November, 71–81. https://www.researchgate.net/publication/337672910_KNOWLEDGE_MANAGEMENT_IN_DIGITAL_ERA

Moore, M. (2012). Interactive media usage among millennial consumers. Journal of Consumer Marketing, 29(6), 436–444. https://doi.org/10.1108/07363761211259241

Porter, M. E. (1996). Porter, M. E. (1996). What is Strategy? Harvard Business Review, 74(6), 61–78. Harvard Business Review, 74, 61–78.

Rabei, N., & Boienko, O. (2020). Theoretical And Practical Significance Of Internet Technologies In Business. Theoretical and Empirical Scientific Research: Concept and Trends, 1(July), 42–45. https://doi.org/10.36074/24.07.2020.v1.15

Schwarzmüller, T., Brosi, P., Duman, D., & Welpe, I. M. (2018). How does the digital transformation affect organizations? Key themes of change in work design and leadership. Management Revue, 29(2), 114–138. https://doi.org/10.5771/0935-9915-2018-2-114

Sousa, M. J., & Rocha, Á. (2019). Skills For Disruptive Digital Business. Journal of Business Research, 94(December 2017), 257–263. https://doi.org/10.1016/j.jbusres.2017.12.051